SOLOPOS.COM - Koko Prasetyo Darkuncoro (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Harianjogja.com, JAKARTA — Koko Prasetyo Darkuncoro sudah mengalami manis pahit sebagai atlet voli pantai. Podium di Asian Games pernah dirasakan pria 33 tahun itu. Kini, dia menyimpan harapan memperbaiki perolehan itu di Incheon, Korea Selatan sebagai Asian Games terakhirnya.

Koko tersenyum saat detikSport mengingatkan pengalaman manis di Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan. Koko yang berpasangan degan pemain senior Agus Salim naik podium sebagai peraih perak voli pantai.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Kini, 12 tahun berselang, Koko masih menyimpan mimpi untuk meraih emas Asian Games. Tapi, dia bukan lagi pemain muda. Sebaliknya, dialah yang jadi leader sebagai pasangan pemain muda, Ade Candra Rachmawan.

Soal teknik, jelas Koko makin matang. Tapi Koko tak bisa memohongi diri-sendiri, dia butuh trik untuk mengimbangi tenaga Ade Candra, 21 tahun.

“Saya nambah sendiri untuk sprint dan gerakan di gym. Sprint setiap pagi atau sore, kalau gym bisa nambah tiga sampai empat gerakan khusus. Minimal dengan itu kondisi fisik saya bisa mengimbangi yang muda-muda,” kata Koko, Selasa (2/9/2014)

“Saya juga nambah latihan, rata-rata setiap harinya 30 persen. Saya harus punya tabungan fisik yang oke sebelum benar-benar ke Asian Games,” beber dia.

Faktanya, fisik Koko masih oke dengan usia di atas 30 tahun itu. Perut dia masih six pack, lengan juga susah dicubit. Smash pun masih kencang dan sulit dibendung.

Kalau soal fisik Koko sudah tahu kuncinya, berbeda untuk menghadapi kejuaraan internasional. PP PBVSI dan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) yang mengurus persiapan tim Indonesia ke Asian Games kesulitan dana. Uji coba–yang digelar di negara-negara lain–untuk menakar kemampuan pun tersendat. Dia khawatir niatan untuk meraih emas itu jadi mimpi belaka.

“Itulah yang kadang-kadang menjadi pemikiran saya, pelatih, pengurus dan kawan-kawan. Ketika kita berbicara ini masalah negara, tapi kenyataannya kita tidak dapat dukungan fasilitas,” jelas Koko.

“Padahal, kita sudah melakukan latihan sedemikian rupa pagi-sore, sampai meninggalkan keluarga, tapi toh tidak ada yang peduli juga sama kita?” keluh dia.

Tapi Koko dan para atlet Indonesia yang sudah kepalang basah terjun di cabang olahraga masing-masing tak bisa melepaskan profesi itu. Mereka sudah menggeluti olahraga itu sejak kecil. Separuh hidup mereka dihabiskan di lapangan. Pagi-sore latihan, akhir pekan menjalani kejuaraan. Ada sebuah tanggung jawab besar yang jadi alasan untuk tetap bertahan.

“Kami dipaksa untuk berpikir, bagaimana berprestasi di tengah keterbatasan. Voli pantai tak sendirian, hampir semua cabang olahraga seperti itu. Kami tak mau menyerah. Ini semua terkait prestasi voli pantai Indonesia. Kami membawa ‘Merah Putih,” ucap dia.

“Seperti juga kali ini, ujicoba minim tapi diminta dapat emas. Kejutan bisa saja terjadi, tapi berkaca empat tahun lalu dengan lebih banyak ujicoba tapikami tak mendapatkan apap-apa, kali ini akan lebih sulit. Padahal saya ingin sekali menutup Asian Games dengan manis.

“Ya ini akan jadi Asian Games terakhir buat saya. Empat tahun lagi, usia saya sudah 37 tahun. Saya dapat perak di Korea, semoga bisa memperbaikinya juga di Korea,” tekad Koko yang mulai merintis klub voli pantai Ganevo di Jogja itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya