SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BRUSSELS – Ayah pemain muda Manchester United, Adnan Januzaj, Abedin marah besar dengan komentar yang dilontarkan pelatih Timnas Belgia, Marc Wilmots. Sang juru racik skuat sepak bola Belgia ini melontarkan pernyataan yang seakan tidak butuh jasa Januzaj di timnya pada 2016 mendatang. Ungkapan ini tak pelak memancing emosi sang ayah yang merasa Belgia yang butuh anaknya, bukan sebaliknya.

Striker belia 18 tahun ini memang berkesempatan membela Timnas sejumlah negara lantaran darah campuran yang dimilikinya. Pemain yang tampil menjadi pahlawan Setan Merah, julukan United, dalam partai kontra Wigan Agustus lalu ini lahir di Brussels, Belgia. Namun, kedua orangtuanya merupakan keturunan Albania yang tinggal di Serbia. Ia berkesempatan berseragam Timnas Belgia, Albania, Serbia, Turki, Kroasia dan Inggris. Sejumlah negara ini pun telah menyatakan minatnya untuk menggaet bintang masa depan lapangan hijau ini.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Januzaj memang belum pernah bermain di Timnas manapun. Sang ayah pun menyarankan putra untuk memilih tempat yang bakal memberinya jatah reguler untuk bermain. Belgia sendiri dikabarkan sudah lama mengincar sang The Rising Star. Akan tetapi, pernyataan Wilmots justru membuat pihak Januzaj berang.

“Tidak mungkin hal seperti ini dinegosiasikan. Januzaj lahir di Belgia dan sudah sepantasnya ia bermain untuk negaranya. Apakah anak ini pantas? Jika dia ingin bermain tunjukkan itu kepada saya. Jika Anda memang terbaik di Manchester atau dimanapun, perlihatkan skill itu. Jika saya butuh saya akan panggil, tetapi saya tidak berjanji,” papar Wilmots, seperti dilansir Skysport, Kamis (17/10/2013) WIB.

Abedin pun marah dengan ucapan sang pelatih yang dianggap tidak memandang anaknya. Padahal menurutnya Belgia yang menginginkannya bukan sang anak.

“Ini sangat memalukan. Kami tidak pernah mendapat apapun dari Belgia. Baik itu pemanggilan atau apapun. Mereka sendiri yang meminta bukan kami. Wilmots justru membuatnya semakin sulit. Kami sangat marah,” tukas Abedin.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng

Ratusan Pencinta Kucing Ikuti Internasional Cat Show di Solo Paragon Mall

Ratusan Pencinta Kucing Ikuti Internasional Cat Show di Solo Paragon Mall
author
Burhan Aris Nugraha Minggu, 28 April 2024 - 20:23 WIB
share
SOLOPOS.COM - Peserta menghadirkan kucingnya ke meja juri untuk dinilai pada International Cat Show di pusat perbelanjaan Solo Paragon Mall, Minggu (28/4/2024). (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Solopos.com, SOLO  Ratusan pecinta kucing berkumpul mengikuti International Cat Show yang  digelar di Solo Paragon Mall, Minggu (28/4/2024). Acara tersebut berhasil menyedot perhatian ratusan pencinta kucing di Soloraya dan sekitarnya.

Chief Marketing Communication Solo Paragon Mall, Veronica Lahji, mengatakan kegiatan tersebut digelar selama dua hari, yakni mulai Sabtu-Minggu (27-28/4/2024) dan Minggu. Menurutnya acara tersebut berhasil menyedot perhatian masyarakat, terbukti dengan jumlah pengunjung yang membludak.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Kontes kucing tersebut diikuti sekitar 195 peserta dari berbagai daerah se-Indonesia.

Kontes memperlombakan empat kategori dan dinilai berdasarkan kesehatan, keindahan, dan anatomi tubuh kucing. Sedangkan untuk juri, acara itu melibatkan tiga juri dari luar negeri di antaranya dari Polandia, Estonia, dan Ceko.

Koran Solopos

Peserta menyiapkan hewan peliharaannya saat mengikuti International Cat Show di pusat perbelanjaan Solo Paragon Mall, Minggu (28/4/2024). (Solopos/Joseph Howi Widodo).

 

Juri asal Estonia Olga Komissarova memberikan penilaian salah satu kucing peserta International Cat Show di pusat perbelanjaan Solo Paragon, Minggu (28/4/2024).  (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Emagazine Solopos

 

Kontes kucing yang berlangsung selama dua hari tersebut diikuti sekitar 195 peserta dari berbagai daerah se-Indonesia. (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Interaktif Solopos


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Mempertahankan Keroncong Klasik

Mempertahankan Keroncong Klasik
author
Ichwan Prasetyo Minggu, 28 April 2024 - 19:56 WIB
share
SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Banyak yang beranggapan Kota Solo adalah benteng terakhir pelestarian musik keroncong. Sebuah anggapan yang bukan tak berdasar, terutama jika menelisik Inventarisasi Data Kesenian Jawa Tenga: Keroncong yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah, April 2019.

Jika di kota-kota lain di Jawa Tengah hanya memiliki satu-dua grup keroncong yang masih eksis, Kota Solo memiliki tak kurang dari 40 grup.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Nama grup beraneka ragam, dari yang kedengaran romantis-nostalgis seperti Orkes Keroncong (OK) Irama Senja, OK Suara Bengawan, OK Gema Buana, hingga yang seram-seram seperti OK Demit dan OK Iblis.

Itu secara kuantitatif. Secara kualitatif bisa diperdebatkan tersendiri, apalagi setelah acara live music Keroncong Klasik di Monumen Pers Nasional Solo pada Sabtu (9/3/2024) yang dilaporkan oleh Solopos, 12 Maret 2024, berhasil membangkitkan memori lawas para penonton.

Koran Solopos

Frasa ”memori lawas” tentu mengacu pada aspek kesejarahan yang panjang. Bahwa pada masa lalu Kota Solo telah menjadi the melting pot bagi aneka jenis musik keroncong, mencakup yang masih klasik (keroncong asli, stambul, langgam) hingga yang berjenis “dikeroncongkan” atau hybrid.

Harmunah menyebut genre demikian sebagai lagu ekstra yang menyimpang dari tiga jenis musik keroncong yang disebut klasik itu. Pertanyaannya, masih adakah manfaat mempertahankan yang klasik-klasik itu di tengah gempuran zaman yang semakin edan ini?

Apakah mampu seni-budaya klasik mengadang laju gelombang pasang globalisasi? Sementara di tengah melek mata, penemuan-penemuan teknologi baru dan terbarukan telah mengubah segalanya, tak terkecuali prinsip-prinsip estetika musik.

Ada emansipasi keindahan. Ada emansipasi pendengaran yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh besar pada cara pandang dan sikap terhadap estetika.

Dalam penciptaan musik keroncong tentu deformasi dan modifikasi soal ritme, melodi, dan harmoni juga mengalami pergeseran. Doktrin bunyi tonal yang sudah berpuluh tahun bersenandung di telinga penikmat keroncong bisa saja tidak berdaya alias meleleh saat menerima fenomena keindahan bunyi di luar sistem tonal yang telah lama diakrabi.

Satu lagi yang tak mungkin ditepis soal selera. Berabad lampau filsuf beraliran empirisme asal Inggris, David Hume (1711-1776), dalam Of the Standard of Taste, menegaskan betapa keindahan suatu objek seni sangat dipengaruhi oleh penikmatnya.

Emagazine Solopos

Bagi Hume, keindahan hanya bertumpu pada diri subjek, bukan sifat objektif bagi karya seni itu sendiri. Selera itu bersifat objektif dan privat. Sebuah pendapat yang sulit ditampik dan justru memperoleh pembenaran dan penegasan dari pemikir Prancis, Pierre Bourdieu.

Dalam buku yang terkenal, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, Bourdieu memandang masalah selera merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial yang mampu dijadikan sarana pembeda. Masyarakat disegmentasikan sedemikian rupa berdasarkan selera.

Itulah yang terjadi selama ini. Mulai zaman keroncong menggenggam masa kencana rukmi, era keemasan, pada tahun 1950-1970-an, hingga mengalami masa surut sampai pada masa yang–dianggap–mengenaskan ini.

Bahwa yang suka pada keroncong (apalagi yang klasik-klasik) kini adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. Tentulah segmentasi semacam itu bukanlah pemahaman tentang seni dan masyarakat yang sehat.

Itu bukan symbolic marking (meminjam istilah Woorward) yang menguntungkan bagi peradaban bangsa. Bagaimanapun tak ada seni yang pantas direndahkan apalagi dilecehkan.

Pemahaman atas identitas budaya mesti memperoleh cara pandang yang egaliter, rumusan yang terus-menerus memperoleh kesegaran dalam setiap era.

Stuart Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996) mengemukakan bahwa identitas adalah sesuatu yang moveable feast, yang senantiasa bergerak, ditansformasikan dan dipresentasikan terus-menerus dalam sistem budaya yang dibingkai oleh sejarah.

Interaktif Solopos

Dalam pemahaman yang demikian, tak layak sebuah karya budaya, seni, mengalami pendegradasian karena sebagaimana gaya hidup, minat dan selera manusia dapat balik ke masa lampau.

Pandangan negatif tentang keroncong klasik terutama berangkat dari stigma: kuno, jadul, selera orang tua, kedaluwarsa. Di sisi lain menyangkut banyak aturan dalam menyanyi: tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus yang ini, jangan yang itu.

Misalnya, yang paling keras pernah disampaikan oleh komponis Kusbini yang mengecam permainan irama rangkap pada Stambul II karena lagu menjadi riang dan itu menyalahi aturan keroncong.

Ya, memang begitu dalam musik keroncong klasik. Misalnya, dalam keroncong asli jumlah birama dipatok 28, tanpa intro dan koda, sukat 4/4, bentuk A-B-C dinyanyikan dua kali, ada overgang, yakni lintas akor: I-IV-V-I.

Terasa rumit karena memiliki kerangka struktural baku, aturan-aturan yang mengikat, sebagaimana yang terjadi pada Sonata Klasik abad ke-18. Lihatlah tatkala Beethoven memainkan Moonlight Sonata in C Sharo Minor dan Mozart memainkan Sonata in A Major.

Mozart adalah teladan tangguh dalam aliran musik klasik Barat. Ia dan karya-karyanya sanggup mempertahankan keseimbangan antara perasaan dan akal budi, antara ego dan kebenaran.

Itulah pula yang terjadi pada komponis lagu-lagu keroncong klasik, seperti Abdulgani, Mardjo Kahar, Sapari, Ismanto, Budiman B.J., Kelly Puspito, Gesang.



Lagu-lagu keroncong seperti Dewi Murni ciptaan Sariwono/Oetjin Nooerhasyim, 1950 (bukan karya Mus Mulyadi sebagaimana disebut oleh Solopos), Kr. Tanah Airku, Kr. Bandar Jakarta, Kr. Suci, Stb. Baju Biru, Stb. Terkenang, dan lain-lain merupakan lagu keroncong klasik yang abadi.

Sebutlah sebagai everlasting song, sebagaimana Langgam Bengawan Solo karya Gesang. Suatu waktu saya tertegun tatkala menyaksikan seorang mahasiswa menyanyikan Kr. Gema Irama ciptaan Sapari/W.S. Nardi dengan begitu apik. Memang terasa berbeda dengan saat lagu itu dinyanyikan oleh Bram Titaley atau Trenggono (bapaknya Yuni Shara dan Krisdayanti).

Setidaknya mampu membangkitkan memori saya pada masa kecil saat menonton pergelaran keroncong kampung tahun 1970-an. Catatan kecil ini tidak saya maksudkan sebagai upaya mengembalikan keroncong ke masa lalu (yang jelas akan sia-sia).

Saya juga tak ingin mengikuti jejak formalisme Hanslick, penulis buku klasik The Musically Beauty, yang ngotot untuk menetapkan musik dengan status otonom. Dengan kredo: musik hanya dipahami sebagai musik, terlepas dari rangka sosial budaya dan latar historisnya.

Saya hanya ingin mengatakan Kota Solo sebagai benteng terakhir seni musik keroncong di Indonesia hendaknya menjadi gudang berbagai aliran. Bolehlah (dan harus) ada congdut, congrock, dan cong-cong yang lain, tapi keroncong klasik harus tetap bisa dinikmati di Kota Solo.

Dalam penelitian saya dua dasawarsa terakhir, saya dapati ribuan lagu-lagu keroncong klasik bermutu yang dilahirkan oleh komponis-komponis keroncong kita yang hebat pada masanya.

Kota Solo yang punya Lokananta nan legendaris itu semestinya menjadi rujukan utama dan terutama. Entah di pundak siapa beban sejarah itu harus disampirkan.

(Penulis adalah Doktor Kajian Budaya, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Warung Pecel Legendaris Mbah Nardi Wonogiri, Rasanya Tetap Khas sejak 1970-an

Warung Pecel Legendaris Mbah Nardi Wonogiri, Rasanya Tetap Khas sejak 1970-an
author
Suharsih Minggu, 28 April 2024 - 19:50 WIB
share
SOLOPOS.COM - Pengelola Warung Pecel Mbah Nardi menyiapkan pesanan pelanggan di warung yang sudah ada sejak 1970-an di Wuryorejo, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, Minggu (28/4/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Sekilas tidak ada yang berbeda dari Warung Pecel Mbah Nardi di Jl Jenderal Sudirman, Kelurahan Wuryorejo, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, dibanding warung pecel lainnya. Namun, warung ini termasuk legendaris karena sudah bertahan puluhan tahun, tepatnya sejak 1970-an.

Tidak ada hal lain yang membuat warung ini bertahan lama kecuali kelezatan sambal pecelnya. Sulit mendapatkan meja kosong untuk makan di warung ini. Para pengunjung datang silih berganti. Warga Wonogiri menyebut warung di pinggir jalan protokol ini sebagai warung pecel legendaris.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Dilihat dari penyajiannya, pecel di warung ini sebenarnya tidak ada yang spesial. Hanya, sambal pecelnya cukup kental. Rasa kacang bercampur pedas cabai mendominasi. Asam dari jeruk yang dicampurkan ke sambel pecel ini membuatnya terasa lebih segar. Ditambah telur ayam dadar gurih makin menambahkan kelezatan pecel Mbah Nardi.

Joko Widiyarno, 56, pemilik Warung Pecel Mbah Nardi, mengatakan warung pecelnya itu sudah ada sejak dia masih anak-anak. Warung itu didirikan oleh ibunya, yang namanya menjadi nama warung pecel tersebut, Mbah Nardi. Kini warung legendaris itu sudah dijalankan dia sebagai generasi kedua.

Koran Solopos

Joko mengatakan kunci warung pecel itu bertahan lama yakni dengan mempertahankan kualitas dan cita rasa. Konsistensi rasa sejak dulu sampai sekarang disebut tidak berubah. Dia menyebut ibunya memiliki resep rahasia agar sambel pecelnya terasa lebih enak.

“Tapi resep rahasia itu tidak dipakai setiap hari karena bahan atau bumbunya mahal. Biasanya resep itu baru saya pakai kalau jumlah pembeli turun. Soalnya kalau pakai setiap hari, biayanya mahal. Meski begitu, pecel saya tetap banyak yang suka,” kata Joko saat berbincang dengan Solopos.com di warungnya, Minggu.

Menurut Joko, para pelanggan Warung Pecel Mbah Nardi Wonogiri yang legendaris itu dari berbagai kalangan, mulai dari para sopir bus dan angkuta, warga biasa, pejabat, hingga petinggi daerah. Tidak jarang para pembeli itu berasal dari Solo, Yogyakarta, Salatiga, dan lainnya.

Emagazine Solopos
warung pecel wonogiri

Sajian pecel di Warung Pecel Mbah Nardi yang sudah berahan puluhan tahun sejak 1970-an di Wuryorejo, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, Minggu (28/4/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Dalam sehari, minimal 20 kg beras dan 8 kg sambal pecel habis terjual di warung pecel legendaris ini. Jumlah pembeli dipastikan lebih dari 100 orang per hari. Selain rasa, kata dia, salah satu yang membuat warung pecel ini ramai dan bertahan lama yaitu karena murah.

Tidak Punya Cabang

Satu porsi pecel hanya dibanderol Rp9.000/porsi. Pembeli bisa menambah telur dadar hanya dengan merogoh kocek Rp3.000. Jika ditambah satu gelas es teh atau teh hangat, pelanggan cukup mengeluarkan uang Rp15.000 untuk sepaket.

Interaktif Solopos

“Pegawai-pegawai Pemkab Wonogiri banyak yang ke sini, pegawai bank dan karyawan lainnya sering banget datang,” ujar dia.

Joko menyampaikan meski laris manis, Warung Pecel Mbah Nardi tidak ada di tempat lain alias tidak membuka cabang. Padahal banyak pelanggan di warung itu, khususnya yang dari Solo, meminta Joko agar membuka cabang di sana.

“Dari sejak berdiri sampai sekarang, warung ini tidak pernah pindah. Ya di sini ini,” ungkapnya.



Warung Pecel Mbah Nardi Wonogiri ini buka setiap hari mulai pukul 07.00 WIB-14.00 WIB. Menurut Joko, sebenarnya dia bisa saja membuka lebih lama sampai sore.

Tetapi dia tidak ingin enam karyawannya bekerja terlalu capai. Warung yang berada di sebelah kiri jalan dari arah Solo ini bisa mengantongi omzet sekitar Rp4 juta-Rp5 juta per hari.

Saat akhir pekan, omzetnya bisa tambah menjadi Rp7 juta-Rp8 juta karena pengunjung bertambah ramai saat Sabtu dan Minggu. “Keuntungan bersih, bisa lebih dari 50% dari omzet. Warung ini tutup hanya saat [Bulan] Puasa dan Lebaran,” ungkapnya.

Salah satu pembeli, Dyah, mengaku baru kali pertama ini menjajal Pecel Mbah Nardi. Perempuan yang datang bersama suami dari Solo itu mengatakan rasa pecel Mbah Nardi tidak mengecewakan, walaupun dia agak kepedasan.

“Patut dicoba kembali. Rasanya enak, tapi untuk ukuran saya, ini sambelnya agak pedas,” ucap Dyah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Memuat Berita lainnya ....
Solopos Stories