SOLOPOS.COM - Pak Min (tengah) dan anaknya (JIBI/Harian Jogja/repro)

Pak Min (tengah) semasa masih hidup (JIBI/Harian Jogja/repro)

Suwito Wiyono, saksi hidup perjalanan PSIM sejak awal memasuki dunia sepak bola profesional, berpulang. Pria yang akrab disapa Pak Min itu, Senin (6/8) sore sekitar pukul 18.00 telah meninggal dunia akibat penyakit tumor yang dideritanya.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Kamar petak sempit berukuran sekitar 4 x 4 meter itu hanya cukup berisikan satu ranjang dan beberapa buah kursi saja. Tak pelak, aroma bunga kamboja yang tertabur di atas ranjang kayu itu pun memenuhi seisi ruangan.

Di atas ranjang kayu bercat putih itu pula, terbaring jasad renta seorang kakek berusia 90 tahun yang tertutup kain jarik.

Suwito Wiyono, ayah sembilan putra itu sebenarnya telah mengidap penyakit tumor sudah lama. Akan tetapi, dengan alasan tak ingin merepotkan istri dan anak-anaknya, ia kemudian menyimpan sendiri deritanya itu. ”Bahkan beberapa hari terakhir, sempat keluar darah. Saat ditanya, ia tetap saja tak mengaku,” ujar Warto, 53, menantunya saat ditemui di rumah duka, kemarin.

Namun, lantaran cemas dengan kondisi ayahnya, menantu dan anak-anaknya, kemudian sepakat membawanya ke RSUP Dr.Sardjito dan RS Bethesda. Akan tetapi lantaran dokter yang telah memvonisnya dengan status stadium IV, keluarganya pun kemudian pasrah. ”Kata dokter, ibarat habis menjual tiga rumah pun, tetap tak akan mampu jadi jaminan kesembuhan simbah,” ujarnya dengan suara pelan.

Kehadiran Pak Min di wisma PSIM sepintas memang hanya sekadar penjaga saja. Namun, bagi semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan PSIM, tentunya akan menaruh hormat setinggi-tingginya terhadap kakek asli Wates, Kulonprogo itu.

Bagaimana tidak, bersama kakaknya, Salamun yang kini sudah berusia lebih dari 90 tahun, Pak Min merupakan orang pertama yang bekerja di wisma pemain PSIM. ”Saat itu, simbah datang ke sini sekitar 1956,” ujar Feranto, putra kelima Pak Min.

Uniknya, kehadiran sepasang kakak-adik itu ke Jogja merupakan perintah langsung dari para pengurus PSIM ketika itu.”Saat itu, simbah langsung diminta untuk menjadi penjaga wisma ini. Saat itu, bangunan wisma pemain hanya bangunan yang belakang ini,” ujar Feranto sambil menunjuk bangunan wisma pemain di sisi utara yang kini difungsikan sebagai kamar dan ruang makan.

Selama pengabdiannya bersama di wisma pemain, Pak Min memang sama sekali tidak mengharapkan semata-mata upah besar. Terbukti, lebih dari separuh abad ia berada di wisma, belasan pengurus berganti, tak pernah kakak beradik itu mendapatkan upah lebih dari Rp200.000 per bulan. ”Kalau biasanya sih, kalau ada even saja, Pak Min dikasih uang,” ujarnya.

Rasa kehilangan itu terlihat dari banyaknya pengurus dan pemain yang bersedia datang di rumah duka yang terkesan sempit dan kumuh.

Sekretaris Umum Pengprov PSSI DIY Dwi Irianto misalnya. Ketika ditemui di rumah duka, ia mengaku, sosok Pak Min merupakan bagian penting dari perjalanan PSIM dari awal berdiri hingga kini. ”Jadi kalau ditanya, siapa orang yang paling tahu tentang PSIM, dialah Pak Min,” ucapnya.

Itulah, tak berlebihan jika Pak Min dan kakaknya Salamun beberapa tahun lalu mendapatkan penghargaan dari Walikota Jogja Herry Zudianto terhadap semua pengabdiannya kepada PSIM.

Menurutnya, kondisi PSIM yang tengah karut marut seperti ini, adalah hal yang sudah biasa dialami oleh Pak Min. Bagi pria yang akrab disapa Mbah Putih ini, sosok Pak Min, lebih dari sekadar seorang penjaga wisma saja. ”Dialah salah satu saksi perjalanan PSIM. Saya dan semua pengurus serta pemain benar-benar merasa kehilangan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya