Sport
Selasa, 4 April 2023 - 11:44 WIB

Sejarah FIFA Beri Sanksi kepada Negara Bermasalah

Newswire  /  Rudi Hartono  /  Rudi Hartono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/dok)

Solopos.com, JAKARTA—Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 masih menyisakan cerita. Keputusan Asosiasi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) itu dinilai berdampak besar bagi Indonesia.

Secara ekonomi, Indonesia diproyeksikan mengalami kerugian minimal Rp3,7 triliun. Dampak yang lebih besar berpotensi akan dirasakan. Sebab, saat ini Indonesia masih menunggu saksi FIFA.

Advertisement

Sebagaimana dalam pernyataan resmi, FIFA menyatakan kemungkinan memberi sanksi kepada Indonesia.

Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (Ketum PSSI) Erick Thohir berharap FIFA tak menjatuhkan sanksi berat seperti yang dilakukan mereka pada 2015 silam kepada Indonesia.

Saat itu, FIFA membekukan PSSI sehingga tidak ada kompetisi di Tanah Air. Indonesia juga dilarang mengikuti kompetisi sepak bola skala internasional.

Advertisement

Sebagian kalangan menganggap FIFA menghapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena ada penolakan sejumlah pihak atas kehadiran timnas Israel. Saat itu memang sedang ramai penolakan timnas Israel, baik dari kepala daerah maupun organisasi masyarakat (ormas).

Sejumlah kalangan menganggap FIFA berlaku tidak adil terhadap Indonesia. Mereka menuding FIFA berstandar ganda seraya menunjuk sikap FIFA terhadap Rusia setelah negara ini menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.

Lantas bagaimana sikap FIFA di masa lalu terhadap negara-negara yang dianggap memiliki masalah? Ini ulasannya.

Pernah Beri Sanksi kepada Rusia dan Yugoslavia

Advertisement

Terkait tudingan FIFA berstandar ganda, sanksi FIFA kepada Rusia memang didasari alasan yang kuat.

Sejak era 1990-an, badan-badan olahraga dunia seperti FIFA dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah berubah. Mereka kerap melihat diri mereka sebagai penguat gerakan moral, termasuk melawan kesewenang-wenangan sebuah negara terhadap negara lainnya.

Sebelum periode 1990-an, badan-badan olahraga itu sangat apolitik. Salah satu contohnya adalah ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979. IOC tak membatalkan Olimpiade 1980 yang diadakan di Moskow saat itu.

Olimpiade itu jalan terus sekalipun diboikot oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Advertisement

Sebelum era 1990-an kerap terjadi perang yang berakhir dengan pendudukan sebuah negara oleh negara lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia Tenggara dan termasuk perang Arab-Israel pada 1949-1967 dan 1967-1973.

Memang ada kasus unik ketika invasi AS dan sekutu-sekutunya ke Irak pada 2003 tidak mendatangkan sikap dari organisasi-organisasi olahraga dunia.

Ini karena invasi Irak 2003 terjadi setelah mendapatkan persetujuan PBB, berkaitan dengan isu proliferasi senjata nuklir dan dukungan Irak terhadap terorisme dua tahun setelah AS diguncang serangan teror 11 September 2001.

Suka atau tidak suka, invasi di Irak itu sudah melalui forum global PBB sehingga aspek legal telah dipenuhi. Ini berbeda dari aksi Rusia di Ukraina yang unilateral atau sepihak tanpa persetujuan internasional dan rekomendasi legal dari PBB.

Advertisement

Karena proses multilateral telah dilewati, aksi AS di Irak secara hukum internasional adalah sah. Dan karena dianggap sah, maka badan-badan dunia, termasuk badan-badan olahraga global pun tak bersikap.

Sebaliknya, pada kasus invasi Rusia di Ukraina, badan-badan olahraga, mengeluarkan sikap yang sejalan dengan posisi PBB yang menyebut aksi Rusia di Ukraina sebagai pelanggaran yang harus dikecam.

Sikap FIFA terhadap Rusia juga diawali oleh sikap badan sepak bola Eropa (UEFA) yang sekalipun bukan bagian dari Uni Eropa, keduanya berkoordinasi erat.

Sikap FIFA terhadap Rusia juga didasari preseden 1996 ketika FIFA dan UEFA mencabut keikutsertaan Yugoslavia dalam Piala Eropa 1992 di Swedia.

Sikap kedua badan sepak bola didasari oleh resolusi PBB yang menjatuhkan sanksi kepada Yugoslavia setelah pasukan etnis Serbia dukungan Yugoslavia, membombardir Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina yang mayoritas muslim.

Sikap PBB itu menjadi dasar FIFA dan UEFA untuk mengusir Yugoslavia dari putaran final Euro 2016 walau negara yang kini telah tiada itu sudah memastikan diri lolos ke putaran final turnamen tersebut. Yugoslavia lalu digantikan Denmark yang akhirnya menjadi juara turnamen Eropa edisi itu.

Advertisement

Situasi terhadap Yugoslavia ini mirip dengan situasi ketika UEFA dan FIFA membekukan keikutsertaan timnas Rusia dari turnamen-turnamen internasional.

Situasi itu pun bermula dari UEFA yang sudah pasti tak bisa melepaskan diri dari Uni Eropa yang langsung menjatuhkan sanksi kepada Rusia setelah negara ini menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Sanksi ini mengikat semua anggota Uni Eropa.

Lalu muncul persoalan lain ketika Republik Ceko, Polandia dan Swedia yang semuanya anggota Uni Eropa, menolak bertanding melawan Rusia dalam playoff zona Eropa untuk memperebutkan satu dari empat jatah Eropa tersisa untuk Piala Dunia 2022.

FIFA tadinya menghendaki Rusia tetap tampil dalam playoff dengan syarat pertandingan kandang Rusia diadakan di negara netral tanpa penonton.

Namun setelah mendapatkan rekomendasi IOC yang merupakan badan olahraga paling tinggi di dunia, sikap FIFA dan UEFA berubah. Pada 15 Maret 2022 mereka mengeluarkan larangan resmi kepada Rusia.

Peristiwa-peristiwa itu melukiskan perubahan sikap pada badan-badan olahraga global seperti FIFA semenjak era 1990-an di mana mereka tidak lagi terlalu apolitik.

Sikap itu pun tidak ditentukan sepihak melainkan atas pandangan mayoritas anggota, rekomendasi IOC, dan mengacu kepada sikap PBB.

Harapan Indonesia

Ketum PSSI Erick Thohir sangat berharap FIFA tidak menjatuhkan sanksi karena alasan intervensi pemerintah seperti saat menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 2015.

Jika jenis sanksi itu yang dijatuhkan, maka bukan saja sepak bola nasional yang terbunuh, tetapi juga menjadi preseden buruk untuk upaya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA dan Olimpiade.

Bagi mereka yang menganggap ajang akbar olahraga global bertautan dengan posisi nasional manakala skala pengaruh dan postur ekonomi sebuah negara semakin meraksasa, maka menjadi tuan rumah ajang olahraga akbar adalah bagian sangat penting dalam menjadi negara besar.

Indonesia sendiri memiliki visi menjadi negara maju pada 2045. Bloomberg pada 2019 bahkan memprediksi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030.

Dan tak ada negara besar yang tak ingin memproyeksikan pengaruh dan pencapaiannya di panggung-panggung global, termasuk dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade.

Namun, sampai Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang mustahil terjadi kecuali Israel membiarkan Palestina menjadi negara berdaulat dan menyerahkan wilayah-wilayah Palestina yang didudukinya, masyarakat negeri ini mesti menyimpan dalam-dalam mimpi menjadi tuan rumah turnamen FIFA dan Olimpiade.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif